Selasa, 22 Maret 2011

2.kenapa timbul isu istilah pribumi dan non pribumi

Pertanyaan Bung Chan CT untuk menghilangkan noda kotor pada istilah
pribumi itu membuat saya kepingin nimbrung nih.

Saya setuju sama Bung Asahan. Bahwa istilah itu sendiri yang arti
harfiahnya tidak berkonotasi jelek, tidak perlu dihilangkan. Terlalu
banyak buang tenaga untuk menghilangkan suatu istilah. Lebih gampang
mengubah 'kesan' yang tersampaikan.

Bahwa sebelumnya istilah itu digunakan untuk kepentingan politik /
dipolitisir untuk memisahkan atau membedakan "kita/kami" dari "mereka"
sepertinya bisa dilawan lagi dengan cara politisir KONTRADIKTIF (heheheh
ini istilah beken dari perguruan sebelah)

Usul 'gila' saya adalah : tionghua lawan dengan cara politisir lagi,
jangan mau kalau dibilang non-pri, kalau ada yang bilang "kamu non-pri
yah?" langsung aja jawab, "saya pribumi koq" dengan demikian label jelek
pri- dan non-pri akan luntur sendiri. Dengan demikian tionghua sendiri
yang mendobrak pengkotak-kotakkan itu. Jangan mau dikotak-kotakin lagi.

(maap, saya bilang usul gila, abisnya waktu saya cetuskan diantara teman
dan kerabat, mereka komentarnya "gila luh" sambil ketawa-ketiwi dan
diskusi berhenti)

catatan:
pengertian pribumi menurut KBBI = penghuni asli, berasal dari tempat
yang bersangkutan.
{Dan tio-in berasal dari Indonesia, jadi berhak untuk menyandang sebutan
pribumi juga toh?}

Tapi kalau buka KBBI mencari pengertian asli...... kyaaaaa! Hehehehe.

-----Original Message-----
From: ChanCT [mailto:SADAR-RuTGJwh49Ls+Va1GwOuvDg@xxxxxxxxxxxxxxxx]
Sent: Friday, September 16, 2005 3:22 PM
To: HKSIS-Group; budaya_tionghua-hHKSG33TihhbjbujkaE4pw@xxxxxxxxxxxxxxxx
Subject: [budaya_tionghua] Re: Mengapa harus mengharamkah istilah
Pribumi dan Non Pribumi?

Bung Asahan yang budiman,

Penegasan bung untuk mempertahankan penggunaan istilah "Pribumi"
cukup menarik, kita harus membuang segala pengertian kotor yang telah
menodai istilah "Pribumi" itu. Kata bung: "Kita bersihkan kata
dari semua noda dan kotoran yang diberikan oleh penguasa dan diktator
bangsa di masa lalu. Semua kita adalah pribumi-pribumi dari segala macam
ras dan suku, sama derajat dan semua kita adalah bangsa Indonesia yang
mencintai keadilan dan melawan semua bentuk diskriminasi politik,
ekonomi, kebudayaan maupun ras."

Setuju! Saya juga sangat setuju dengan pengertian bung itu. Tapi,
pernahkah bung pikirkan bagaimana cara menghilangkan noda dan begitu
kotornya, jahatnya pengertian yang selama ini melekat keras pada istilah
"Pribumi" itu? Bukankah salah satu cara yang dekat, adalah menghentikan
penggunaan istilah "Pribumi" dan "Non-Pribumi" itu, yang jelas selama
ini digunakan untuk mengkotak-kotak warga negara Indonesia ini menjadi,
"Pribumi" dan "Non-Pribumi" untuk sekelompok yang etnis Tionghoa.

1.apakah ada di indonesia penduduk asli

Suku bangsa di indonesia

Suku Batak
Batak adalah nama sebuah sukubangsa di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatra Utara. Sebagian orang Batak beragama Kristen dan sebagian lagi beragama Islam. Tetapi dan ada pula yang menganut agama Malim (pengikutnya bisasa disebut dengan Parmalim ) dan juga penganut kepercayaan animisme (disebut Pelebegu atau Parbegu).

Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan Sumatra Utara: 1 juta.
Bahasa bahasa Batak: logat Silindung, logat Samosir, logat Humbang, dan logat Toba. Lalu bahasa Melayu, dan bahasa Indonesia juga digunakan. Agama Kristen, Islam, dan Parmalim. Kelompok etnis terdekat suku Gayo, suku Rejang, suku Simalungun, suku Alas, suku Karo, suku Pakpak-Dairi, suku Angkola, suku Mandailing, suku Padang Lawas, dan suku-suku non-Melayu lainnya di Sumatra Utara dan Sumatra bagian selatan.


Suku Dayak
Dayak atau Daya adalah suku-suku asli yang mendiami Pulau Kalimantan, lebih tepat lagi adalah yang memiliki budaya terestrial (daratan, bukan budaya maritim). Sebutan ini adalah sebutan umum karena orang Daya terdiri dari beragam budaya dan bahasa. Dalam arti sempit, Dayak hanya mengacu kepada suku Ngaju (rumpun Ot Danum) di Kalimantan Tengah, sedangkan arti yang luas suku Dayak terdiri atas 6 rumpun suku. Suku Bukit di Kalimantan Selatan dan Rumpun Iban diperkirakan merupakan suku Dayak yang menyeberang dari pulau Sumatera. Sedangkan suku Maloh di Kalimantan Barat perkirakan merupakan suku Dayak yang datang dari pulau Sulawesi. Penduduk Madagaskar menggunakan bahasa yang mirip dengan bahasa Maanyan, salah satu bahasa Dayak (Rumpun Barito).

Suku Jawa
Suku bangsa Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi di provinsi Jawa Barat banyak ditemukan Suku Jawa, terutama di Kabupaten Indramayu dan Cirebon yang mayoritas masyarakatnya merupakan orang-orang Jawa yang berbahasa dan berbudaya Jawa. Di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara populasi mereka juga cukup banyak. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger.
Jumlah populasi
2009: kurang lebih 100 juta.
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan Indonesia:
Jawa Tengah: 33 juta
Yogyakarta: 3 juta
Jawa Timur: 30 juta
Jawa Barat: 5,5 juta
Banten: > 500.000
Jakarta: 3 juta (perkiraan)
Lampung: 4,5 juta
Sumatra Selatan: 1,9 juta
Riau: 1,2 juta
Kalimantan Timur: 0,7 juta
Jambi: 0,7 juta
Kalimantan Selatan: 0,4 juta
Bengkulu: 0,3 juta
Kalimantan Tengah: 0,3 juta
Papua: 0,3 juta
Malaysia: 1 - 2 jutaSuriname: 75.000.
Kaledonia Baru: 5.000.
Bahasa bahasa Jawa, bahasa Indonesia, bahasa Melayu, bahasa Madura, bahasa Belanda, bahasa Perancis dan lain-lain. Agama Kejawen, Islam, Kristen, Hindu, dan Buddha. Kelompok etnis terdekat suku Sunda, suku Madura, suku Bali.



Suku Melayu
Melayu atau suku Melayu dalam pengertian mutakhir merujuk kepada penutur bahasa Melayu dan mengamalkan adat budaya orang Melayu, dan sudah mengalami akulturasi dengan bangsa asing lainnya yang datang dari luar Kepulauan Indo Melayu (Nusantara), terutama pengaruh agama Islam yang kuat. Suku Melayu merupakan bagian dari suku-suku ras Deutero Melayu. Suku Melayu modern merupakan keturunan orang Melayu kuno dari Kerajaan Melayu. Menurut sensus tahun 2000, suku Melayu meliputi 3,4% dari populasi Indonesia dan mendiami beberapa propinsi di Sumatera dan Kalimantan Barat. Suku Melayu juga terdapat di Malaysia, Singapura, Brunei, Thailand dan Afrika Selatan. Melayu Cape Town di Afrika Selatan merupakan keturunan suku Melayu dan sejumlah suku lainnya yang berasal dari Nusantara seperti Makassar, Banten, Ternate dan lain-lain. Jadi Melayu Cape Town merupakan kumpulan beberapa etnis yang kebetulan semuanya muslim lebih tepat disebut ras Indo-Melayu atau disederhanakan dengan sebutan ras Melayu.


Suku Minangkabau
Suku Minangkabau atau Minang (seringkali disebut Orang Padang) adalah suku yang berasal dari Provinsi Sumatera Barat. Suku ini terkenal karena adatnya yang matrilineal, walau orang-orang Minang sangat kuat memeluk agama Islam. Adat basandi syara', syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur'an) merupakan cerminan adat Minang yang berlandaskan Islam.
Suku Minang terutama menonjol dalam bidang pendidikan dan perdagangan. Lebih dari separuh jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Untuk di luar wilayah Indonesia, suku Minang banyak terdapat di Malaysia (terutama Negeri Sembilan) dan Singapura. Di seluruh Indonesia dan bahkan di mancanegara, masakan khas suku ini yang populer dengan sebutan masakan Padang, sangatlah digemari.
Minangkabau merupakan tempat berlangsungnya perang Paderi yang terjadi pada tahun 1804 - 1837. Kekalahan dalam perang tersebut menyebabkan suku ini berada dibawah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia-Belanda.

Suku Minahasa
Suku Minahasa adalah salah satu suku bangsa di Indonesia. Mereka berasal dari kabupaten Minahasa, provinsi Sulawesi Utara. Suku Minahasa sebagian besar tersebar di seluruh provinsi Sulawesi Utara.
Suku Minahasa terbagi atas sembilan subsuku:
1.Babontehu
2.Bantik
3.Pasan Ratahan (Tounpakewa)
4.Ponosakan
5.Tonsea
6.Tontemboan
7.Toulour
8.Tonsawang
9.Tombulu
Di antara sembilan subsuku di atas, yang termasuk subsuku terbesar adalah: Tontemboan, Tonsea, Tombulu, Toulour, dan Bantik.
Suku Mentawai
Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai. Sebagaimana suku Nias dan suku Enggano, mereka adalah pendukung budaya Proto-Melayu yang menetap di Kepulauan Nusantara sebelah barat. Daerah hunian warga Mentawai, selain di Mentawai juga di Kepulauan Pagai Utara dan Pagai Selatan. Suku ini dikenal sebagai peramu dan ketika pertama kali dipelajari belum mengenal bercocok tanam. Tradisi yang khas adalah penggunaan tato di sekujur tubuh, yang terkait dengan peran dan status sosial penggunanya.

A.Mengapa Timbul “Pribumi dan Non-Pribumi”

Siapakah Pribumi dan Non-pribumi

Dari KBBI, pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada. Jadi, anak dari orang tua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek-nenek adalah orang asing.

Namun pendapat yang beredar luas di Indonesia mengenai istilah pribumi dan non-pribumi adalah pribumi didefinisikan sebagai penduduk Indonesia yang berasal dari suku-suku asli (mayoritas) di Indonesia. Sehingga, penduduk Indonesia keturunan Tionghoa, India, ekspatriat asing (umumnya kulit putih), maupun campuran sering dikelompokkan sebagai non-pribumi meski telah beberapa generasi dilahirkan di Indonesia. Pendapat seperti itu karena sentimen masyarakat luas yang cenderung mengklasifikasikan penduduk Indonesia berdasarkan warna kulit mereka.

Selain warna kulit, sebagian besar masyarakat mendefinisikan sendiri (melalui informasi luar) berdasarkan budaya dan agama. Sehingga jika penduduk Indonesia keturunan Tionghoa dianggap sebagai non pribumi, maka penduduk Indonesia keturunan Arab (bukan dari suku asli) dianggap sebagai pribumi.

“Embrio” Pribumi dan Non-pribumi

Golongan pribumi dan non-pribumi muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan. Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum (penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).

Setelah merdeka, para pejuang kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.

Setelah pemerintahan Bung Karno direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali “terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan asing dan segelintir penghianat bangsa.

Inilah mengapa, diera orde baru, konflik horizontal antara penduduk miskin (disebut dan dilabeli sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi) berkembang dan namun erpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di tahun 1998. Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si kaya – “non-pribumi” yang kena getahnya. Massa kepalang berpikiran semua orang keturunan adalah non-pribumi, sehingga gerakan mereka ibarat “menembak burung di angkasa raya, namun sapi di sawah yang mati”. Burung (penguasa, penghianat, si-kaya) masih beterbangan di angkasa Indonesia, Singapura, dan Amerika. Hingga saat ini, pemerintah hanya dapat menonton “burung-burung” tersebut beterbangan bebas……Yang tewas adalah rakyat miskin dan jelata.

Pribumi dan Non-pribumi Vs Patriot dan Penghianat

Sebagai warga negara Indonesia, kita memiliki hak dan kewajiban membangun bangsa ini. Kita wajib menyadarkan sesama kita – bangsa kita bahwa tantangan terbesar yang sedang kita hadapi bukanlah etnis, suku,warna kulit ataupun agama. Bukan juga perbedaan pribumi dan non-pribumi. Tapi hal yang terbesar adalah ketidakadilan, pemiskinan, lunturnya nasionalisme membangun bangsa, dan ancaman hegomoni asing dalam bentuk ekonomi, politik, pertahanan dan multi nasional company. Perjuangan kita adalah untuk mewujudkan sistem pemerintah yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Karena istilah pribumi dan non-pribumi diciptakan oleh penjajah dan penguasa yang kejam, sudah saatnya kita harus meninggalkan istilah tersebut. Kekuatan rakyat harus menciptakan sendiri istilah yang baru, yakni “patriot” dan “penghianat”. Seorang patriot adalah yang memperjuangkan negara dan tanah airnya demi kesejahteraan dan kemandirian bangsa. Untuk itu kita dukung perjuangan para patriot tersebut saat ini. Sedangkan golongan kedua adalah penghianat, mereka yang merusak bangsa kita demi kepentingan pribadi ataupun golongan dengan menghancurkan kepentingan bangsa dan negara. Mereka yang mengobral aset bangsa, kebijakan pro-konglomerasi, dan memakan uang rakyat serta membangun dinasti keluarga di pemerintahan, legislatif maupun penegak hukum. Kita perlu memata-matai tindak tanduk mereka, dan memperjuangkan hukum untuk mengadili para penghianat tersebut.

Tentunya gerakan reformasi rakyat untuk melawan penghianat dan penjajah baru ini bukanlah dengan revolusi berdarah, tapi dapat dilakukan dengan reformasi rakyat terutama dari pemimpin pemerintah, penegak hukum, serta mereformasi badan legislatif yang masih lemah. Dan tidak kalah penting adalah sistem edukasi di lembaga pendidikan. Untuk itu, diharapkan para tokoh bangsa turut mengawasi para penguasa di negeri ini, serta edukasi masyarakat untuk memilih pemimpin yang patriot, bukan pemimpin sekadar populer.

Berakhirnya Diskriminasi Secara Konstitusi

Setelah era reformasi, beberapa tokoh bangsa Indonesia berusaha mengangkat kembali kekuatan persatuan dengan menghilangkan diskriminasi perusak bangsa. Reformasi birokrasi yang menghasilkan sedikit perubahan dalam mengurangi praktik pemerintahan KKN yang sarat dengan bau kekeluargaan, etnis, dan agama. Maka disusunlah UU Kewarganegaran serta menghilangkan secara hukum diskriminasi bagi etnis Tionghoa dan etnis minoritas di era Gusdur.

Setelah berlakunya UU 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, maka setiap manusia yang lahir di Indonesia dianggap warga negara Indonesia tanpa ada memandang embel-embel pribumi atau non-pribumi yang melekat karena perbedaan latar belakang etnis. Yang diberlakukan saat ini adalah warga negara.

Ada beberapa kriteria Warga Negara Indonesia (WNI) dalam UU 12 tahun 2006 (diambil sebagian) adalah:

* Seorang yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah WNI dan Ibu WNI, ayah WNI dan ibu WNA, atau ayah WNA dan ibu WNI.
* anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya
* Orang asing yang telah berjasa kepada negara Republik Indonesia atau dengan alasan kepentingan negara (diberikan oleh Presiden dan pertimbangan DPR RI)

2.siapa yang menjadi warganegara dijelaskan dalam pasal 26 uud-1945

Warga Negara Indonesia
Pengertian Rakyat Negara

Rakyat pada suatu Negara meliputi semua orang yang bertempat tinggal di dalam wilayah kekuasaan Negara dan tunduk pada kekuasaan Negara itu.

Pada permulaan rakyat dari suatu negara hanya terdiri dari orang-orang dari satu keturunan yang berasal dari satu nenek-moyang. Dalam hal ini factor yang terpenting adalah pertalian darah. Akan tetapi wilayah Negara itu didatangi oleh orang-orang dari Negara lain yang mempunyai nenek-moyang lain pula. Selain itu, factor tempat tinggal bersama turut menentukan, apakah seseorang termasuk dalam pengertian rakyat dari Negara itu.


Adapun orang-orang yang berada di wilayah suatu Negara dapat dibagi atas: penduduk dan bukan penduduk.



Pengertian Penduduk

Penduduk ialah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan untuk sementara waktu dan yang tidak bermaksud bertempat tinggal di wilayah Negara itu. Penduduk ialah warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia [Pasal 26 ayat 2, UUD 1945 (amandemen ke-2)].
Penduduk dapat dibagi atas:

1. Penduduk warga Negara, dengan singkat disebut “warga Negara,” dan
2. Penduduk bukan warga Negara yang disebut “orang asing”.



Pengertian Warga Negara

Setiap Negara biasanya menentukan dalam UU Kewarganegaraan siapa yang menjadi warga Negara dan siapa yang dianggap orang asing. Warga Negara adalah seseorang yang telah memenuhi syarat-syarat sebagai warga Negara, di Indonesia kewarganegaraan itu diatur dalam UU No. 62 tahun 1958. Dalam UUD 1945 pasal 26 dinyatakan:

* Yang menjadi warga Negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga Negara.
* Penduduk ialah warga Negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia (amandemen ke-2).
* Hal-hal mengenai warga Negara dan penduduk diatur dalam undang-undang.



Sedangkan menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia (UUKI) 2006, yang dimaksud dengan warga Negara adalah warga suatu Negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Menurut UUKI 2006 (Pasal 4, 5, dan 6) mereka yang dinyatakan sebagai warga Negara Indonesia adalah:

* Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkaan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga Negara Indonesia (WNI).
* Anak yang lahir dari perkawinan Yang sah dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia.
* Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga Negara Indonesia dan ibu warga Negara asing.
* Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga Negara asing dan ibu warga Negara Indonesia.
* Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum Negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
* Anak yang lahir dalam tenggang waktu tiga ratus (300) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga Negara Indonesia.
* Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara Indonesia
* Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.
* Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
* Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
* Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
* Anak yang lahir di luar wilayah Negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
* Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.




Selanjutnya, Pasal 5 UUKI 2006 tentang Status Anak Warga Negara Indonesia menyatakan:


1. Anak warga Negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, sebelum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkwarganegaraan asing tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia.
2. Anak warga Negara Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai anak oleh warga Negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap diakui sebagai warga Negara Indonesia.



Sedangkan tentang pilihan menjadi warga Negara bagi anak yang dimaksud pada pasal-pasal sebelumnya dijelaskan dalam Pasal 6 UUKI 2006, sebagai berikut:

1. Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I, dan Pasal 5 berakibat anak berkwarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
2. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
3. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat tiga (3) tahun setelah anak berusia delapan belas (18) tahun atau sudah kawin.

5.PENGERTIAN, TUJUAN, SEJARAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A. Pengertian Pendidikan Kewarganegaraan

Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa di setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat terdiri dari Pendidikan Bahasa, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
Kep. Mendikbud No. 056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Hasil Belajar Mahasiswa menetapkan bahwa “Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan termasuk dalam Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi”.
Dengan penyempurnaan kurikulum tahun 2000, menurut Kep. Dirjen dikti No. 267/Dikti/2000 materi Pendidikan Kewiraan disamping membahas tentang PPBN juga dimembahas tentang hubungan antara warga negara dengan negara. Sebutan Pendidikan Kewiraan diganti dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Materi pokok Pendidikan Kewarganegaraan adalah tentang hubungan warga negara dengan negara, dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara (PPBN).

B. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan

Berdasarkan Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/2000, tujuan Pendidikan Kewarganegaraan mencakup:
1. Tujuan Umum
Untuk memberikan pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa mengenai hubungan antara warga negara dengan negara serta PPBN agar menjadi warga negara yang diandalkan oleh bangsa dan negara.

2. Tujuan Khusus

1. Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur, dan demokratis serta ikhlas sebagawai WNI terdidik dan bertanggung jawab.

2. Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung jawab yang berlandaskan Pancasila, Wawasan Nusantara, dan Ketahanan Nasional

3. Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air, serta rela berkorban bagi nusa dan bangsa.

C. Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan

1. Pendidikan Kewiraan
Pendidikan Kewiraan dimulai tahun 1973/1974, sebagai bagian dari kurikulum pendidikan nasional, dengan tujuan untuk menumbuhkan kecintaan pada tanah air dalam bentuk PPBN yang dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahap awal yang diberikan kepada peserta didik SD sampai sekolah menengah dan pendidikan luar sekolah dalam bentuk pendidikan kepramukaan, sedangkan PPBN tahap lanjut diberikan di PT dalam bentuk pendidikan kewiraan.

2. Perkembangan kurikulum dan materi Pendidikan Kewarganegaraan
a. Pada awal penyelenggaraan pendidikan kewiraan sebagai cikal bakal darai PKn berdasarkan SK bersama Mendikbud dan Menhankam tahun 1973, merupakan realisasi pembelaan negara melalui jalur pengajaran khusus di PT, di dalam SK itu dipolakan penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan dan Pendidikan Perwira Cadangan di PT.
b. Berdasarkan UU No. 20 tahun 1982 tentang Pokok-pokok Penyelenggaraan Pertahanan dan Keamanan Negara ditentukan bahwa:
1) Pendidikan Kewiraan adalah PPBN tahap lanjutan pada tingkat PT, merupakan bagian tidak terpisahkan dari Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional
2) Wajib diikuti seluruh mahasiswa (setiap warga negara).
c. Berdasarkan UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa:
1) Pendidikan Kewiraan bagi PT adalah bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan
2) Termasuk isi kurikulum pada setiap jenis, jalur, dan jenjang pendidikan
d. SK Dirjen Dikti tahun 1993 menentukan bahwa Pendidikan Kewiraan termasuk dalam kurikulum MKDU bersama-sama dengan Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, ISD, IAD, dan IBD sifatnya wajib.
e. Kep. Mendikbud tahun 1994, menentukan:
1) Pendidikan Kewarganegaraan merupakan MKU bersama-sama dengan Pendidikan Agama, dan Pendidikan Pancasila
2) Merupakan kurikulum nasional wajib diikuti seluruh mahasiswa
f. Kep. Dirjen Dikti No. 19/Dikti/1997 menentukan antara lain:
1) Pendidikan Kewiraan termasuk dalam muatan PKn, merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok MKU dalam susunan kurikulum inti
2) Pendidikan Kewiraan adalah mata kuliah wajib untuk ditempuh setiap mahasiswa pada PT
g. Kep. Dirjen Dikti No. 151/Dikti/Kep/2000 tanggal 15 Mei 2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Inti MPK, menentukan:
1) Pendidikan Kewiraan termasuk dalam muatan PKn, merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari kelompok MPK dalam susunan kurikulum inti PT di Indonesia
2) Pendidikan Kewiraan adalah mata kuliah wajib untuk ditempuh setiap mahasiswa pada PT untuk program diploma III, dan strata 1.
h. Kep. Dirjen Dikti No. 267/Dikti/kep/2000 tanggal 10 Agustus, menentukan antara lain:
1) Mata Kuliah PKn serta PPBN merupakan salah satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dari MPK
2) MPK termasuk dalam susunan kurikulum inti PT di Indonesia
3) Mata Kuliah PKn adalah MK wajib untuk diikuti oleh setiap mahasiswa pada PT untuk program Diploma/Politeknik, dan Program Sarjana.
i. Kep. Mendiknas No. 232/U/2000 tanggal 20 Desember 2000 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa menentukan antara lain:
1) Kurikulum inti Program sarjana dan Program diploma, terdiri atas:
a) Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)
b) Kelompok Mata kUliah Keilmuan dan Keterampilan (MKK)
c) Kelompok Mata Kuliah Keahlian Berkarya (MKB)
d) Kelompok Mata Kuliah Perilaku Berkarya (MPB)
e) Kelompok Mata Kuliah Kehidupan Bermasyarakat (MKB)
2) MPK adalah kelompok bahan kajian dan pelajaran untuk mengembangkan manusia Indonesia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
3) Kurikulum inti merupakan kelompok bahan kajian dan pelajaran yang harus dicakup dalam suatu program studi yang dirumuskan dalam kurikulum yang berlaku secara nasional
4) MPK pada kurikulum inti yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi terdiri dari bahasa Indonesia, Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.
5) MPK untuk PT berdasarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional terdiri dari Pendidikan Bahasa, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan.

D. Perkembangan Materi Pendidikan Kewarganegaraan

1. Awal 1979, materi disusun oleh Lemhannas dan Dirjen Dikti yang terdiri dari Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, politik dan Strategi Nasional, Politik dan Strategi Pertahanan dan Keamanan Nasional, sistem Hankamrata. Mata kuliah ini bernama Pendidikan Kewiraan.
2. Tahun 1985, diadakan penyempurnaan oleh Lemhannas dan Dirjen Dikti, terdiri atas pengantar yang bersisikan gambaran umum tentang bahan ajar PKn dan interelasinya dengan bahan ajar mata kuliah lain, sedangkan materi lainnya tetap ada.
3. Tahun 1995, nama mata kuliah berubah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan yang bahan ajarnya disusun kembali oleh Lemhannas dan Dirjen Dikti dengan materi pendahuluan, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik strategi nasional, politik dan strategi pertahanan dan keamanan nasional, sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta.
4. Tahun 2001, materi disusun oleh Lemhannas dengan materi pengantar dengan tambahan materi demokrasi, HAM, lingkungan hidup, bela negara, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional
5. Tahun 2002, Kep. Dirjen Dikti No. 38/Dikti/Kep/2002 materi berisi pengantar sebagai kaitan dengan MKP, demokrasi, HAM, wawasan nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional.

E. Landasan Ilmiah dan Landasan Hukum Pendidikan Kewarganegaraan
a. Landasan Ilmiah
1. Dasar Pemikiran PKn
Setiap warga negara dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya, serta mampu mengantisipasi perkembangan dan perubahan masa depannya. Untuk itu diperlukan pembekalan IPTEKS yang berlandaskan nilai-nilai keagamaan, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai budaya bangsa. Nilai-nilai dasar tersebut berperan sebagai panduan dan pegangan hidup setiap warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

2. Objek Pembahasan PKn

Setiap ilmu harus memenuhi syarat-syarat ilmiah yang mempunyai objek, metode, sistem dan bersifat universal. Objek pembahasan setiap ilmu harus jelas, baik objek material maupun objek formal.
Objek material adalah bidang sasaran yang dibahas dan dikaji oleh suatu bidang atau cabang ilmu. Objek material PKn adalah segala hal yang berkaitan dengan warga negara baik yang empirik maupun yang non empirik, yang meliputi wawasan, sikap, dan perilaku warga negara dalam kesatuan bangsa dan negara.
Objek formal adalah sudut pandang tertentu yang dipilih untuk membahas objek material tersebut. Objek formal PKn adalah hubungan antara warga negara dengan negara dan Pendidikan Pendahuluan Bela Negara.
Objek pembahasan PKn menurut Kep. Dirjen Dikti No. 267/dikti/Kep./ 2000 meliputi pokok bahasan sebagai berikut:
1) Pengantar PKn
a. Hak dan kewajiban warga negara
b. Pendidikan Pendahuluan Bela Negara
c. Demokrasi Indonesia
d. Hak Asasi Manusia
2) Wawasan Nusantara
3) Ketahanan Nasional
4) Politik dan Strategi Nasional

3. Rumpun Keilmuan

PKn (Kewiraan) dapat disejajarkan dengan civics education yang dikenal diberbagai negara. PKn bersifat interdisipliner (antar bidang) bukan monodisipliner, karena kumpulan pengetahuan yang membangun ilmu kewarganegaraan diambil dari berbagai disiplin ilmu seperti hukum, politik, administrasi negara, sosiologi, dsb.

KOMPE4.TENSI YANG DIHARAPKAN DARI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A. hakikat pendidikan
masyarakat dan pemerintah suatu negara berupaya untuk menjamin kelangsungan hidup serta kehidupan generasi penerusnya secara berguna (berkaitan dengan kemampuan spiritual) dan bermakna (berkaitan dengan kemampuan kognitif dan psikomotorik). generasi penerus tersebut diharapkan akan mampu mengantisipasi hari depan mereka yang senantiasa berubah dan selalu terkait dengan konteks dinamika budaya, bangsa, negara dan hubungan internasional.
B. kemampuan warga negara
Untuk hidup berguna dan bermakna serta mampu mengantisipasi perkembangan, perubahan masa depannya, suatu negara sangat memerlukan pembekalan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks) yang belandaskan nilai-nilai pancasila, nilai-nilai keagamaan, dan nilai-nilai perjuangan bangsa. nilai-nilai tersebut akan menjadi panduan dan mewarnai keyakinan warga negra dalam kehidupan bermsyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.
C. Menumbuhkan wawasan warga negara
Setiap warga negara Republik Indonesia harus menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang merupakan misi atau tanggung jawab pendidikan kewarganegaraan untuk menumbuhkan wawasan warga negara dalam hal persahabatan, pengertian antarbangsa, perdamaian dunia, kesadaran bela negara, dan sikap serta perilaku yang besendikan nilai-nilai budaya bangsa, wawasan nusantara dan ketahanan nasional. pendidikan kewarganegaraan ini dilaksanakan oleh Depdiknas di bawah kewenangan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.
D. Dasar pemikiran pendidikan kewarganegaraan
Rakyat Indonesia melalui MPR, menyatakan bahwa: pendidikan nasional yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesia diarahkan untuk "meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat bansa, mewujudkan manusia serta masyarakant Indonesia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas mandiri, sehingga mampu membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa".
E. Kompetensi yang diharapkan
Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nesional menjelaskan bahwa "pendidikan kewarganegaraan merupakan usaha untuk membekali peserta didik dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan denga hubungan antara warga negara dan negara serta pendidikan pendahulauan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia."
Pendidkan kewarganegaraan yang berhasil akan membuahkan sikap mental yang cerdas, penuh rasa tanggung jawab dari peserta didik. sikap ini disertai dengan perilaku yang:
1.) Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.) Berbudi pekerti luhur, berdisiplin dalam bermsyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3.) Rasional, dinamis, dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
4.) Besifat profesional, yang dijiwai oleh kesadaran bela negara.
5.) Aktif memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa, dan negara.

3.tujuan kewarganegaraan di berikan di perguruan tiggi

Bab. 1. Pendahuluan
A. PENGANTAR
1. Urgensi Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia telah menempuh perjalanan panjang, dimulai dari masa sebelum dan selama pen­jajahan, dilanjutkan dengan era merebut dan mempertahankan kemerdekaan hingga mengisi kemerdekaan. Masing-masing tahap tersebut melahirkan tantangan jaman yang berbeda sesuai dengan kondisi dan tuntutan jamannya. Tantangan jaman itu ditanggapi bangsa Indonesia berdasarkan kesamaan nilai-nilai perjuangan bangsa, yang dilandasi dengan jiwa dan tekad kebangsaan. Kesemuanya itu tumbuh dan berkembang menjadi kekuatan yang mampu mendorong proses terwujudnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam wadah Nusantara.
Di era revolusi fisik, semangat perjuangan bangsa yang tidak kenal menyerah, yang hakekatnya merupakan kekuatan mental spiritual bangsa telah melahirkan perilaku heroik dan patriotik, serta menumbuhkan kekuatan, kesanggupan dan kemauan yang luar biasa. Idealnya, dalam situasi dan kondisi apapun semangat juang itu hendaknya tetap dimiliki oleh setiap warganegara NKRI. Di samping sudah terbukti keandalannya, nilai-nilai tersebut terbukti masih relevan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam kehidupan ber­masyarakat, berbangsa dan bernegara. Namun demikian sebagai fenomena sosial, nilai-nilai itupun mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika kehidupan nasional.
Seperti diketahui, seusai Perang Dunia II (1939-1945) dunia diwarnai oleh suasana Perang Dingin (Cold War) antara Blok Barat yang dipelopori oleh Amerika Serikat (AS) dan Blok Timur yang dimotori oleh Uni Sovyet (US), dan itu berlangsung selama hampir setengah abad1).
Menjelang akhir abad 20 situasi politik dunia berubah secara drastis. Tahun 1989 Tembok Berlin, lambang terpisahnya blok Barat dan Timur runtuh, disusul bubarnya Uni Sovyet. Konstelasi politik duniapun berubah. Perang Dingin berakhir secara mendadak, di luar perhitungan pihak yang bertikai. Akibatnya, di satu sisi dunia dilanda kevakuman, baik dalam konsep, strategi maupun kepemim­pinan politik, sementara di sisi lain muncul tuntutan masyarakat dunia akan adanya Tata Dunia Baru yang aman, sejahtera dan lebih berkemanusiaan.
Perubahan yang begitu mendadak itu membuat Washington terjebak pada situasi kehilangan pegangan dan pedoman dalam mengarahkan perubahan mondialnya. Untuk merubah dari strategi konfrontasi ke rekonsiliasi bukanlah hal yang mudah dan tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, sementara tuntutan dunia terhadap adanya Tata Dunia Baru terus mendesak.
Di tengah keterdesakan dan ketiadaan konsep tersebut AS selaku pemenang dan adikuasa tunggal nampaknya hanya mengambil jalan mudahnya. AS menganggap bahwa runtuhnya Tembok Berlin sebagai pertanda bahwa dunia tidak lagi bersekat, ditambah lagi adanya gejala meluasnya nilai-nilai bercirikan global. Bertolak dari fenomena tersebut maka AS mulai memperkenalkan apa yang sekarang dikenal sebagai “globalisasi”, yang sebenarnya bukan konsep baru yang diharapkan untuk mengisi kevakuman dunia.
Pada hakekatnya proses yang mengandung ciri penduniaan itu telah melanda dunia jauh sebelum Perang Dingin usai. Hanya saja, selama ini para pengamat tidak menaruh perhatian karena dianggap bukan sebagai gejala yang penting. Gejala awal terlihat dari mendunianya penye­baran jenis-jenis makanan tertentu, tingkah laku orang-orang perkotaan (metropolitan) dan meluasnya penerimaan terhadap mode pakaian dan tata rias. Semua itu mengarus dari masya­rakat dunia industri maju ke bagian dunia yang lain, didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan sistim komunikasi telemedia (Soerjanto, 1994:26-29).
Cepatnya komunikasi lewat teknologi elektronika membuat penyebaran informasi berjalan singkat dan melampaui batas negara. Peristiwa di satu titik di muka bumi dalam waktu sekejap dapat diketahui oleh seluruh penjuru dunia. Orangpun mulai merasa bahwa dunia semakin “sempit”. Kemajuan IPTEK bidang informasi, komunikasi dan trans­portasi telah membuat dunia menjadi semakin transparan. Tidak ada lagi batas atau sekat antara bagian dunia yang satu dengan bagian yang lain, sehingga seolah-olah terbentuk kampung sedunia tanpa mengenal batas negara.
Namun demikian, hingga sedemikian jauh orang belum berbicara tentang globalisasi. Istilah “globalisasi” baru muncul setelah Perang Dingin usai. Ketika itu para politisi dan ilmuwan berlomba mengumandangkan istilah tersebut dengan interpretasi dan pemahaman sesuai tujuan masing-masing. Yang terjadi kemudian ialah paduan suara sejagad mendendangkan globalisasi.
Situasi jadi makin tambah semarak setelah AS sebagai pemenang dalam Perang Dingin dan secara psikologis merasa sebagai pihak yang berhak mengatur dunia, mulai gencar meng­kampanye­kan konsep globalisasi. Dengan dukungan negara-negara Barat, Washington mulai memaksakan “pembaharuan” melalui penerapan HAM, demokrasi dan sistim pasar bebas kepada negara-negara berkembang.
Ironisnya, di saat umat manusia yang telah muak dengan konfrontasi, peng­­gunaan kekerasan dan segala bentuk pemaksaan serta per­musuhan, menuntut dan mendambakan suatu tatanan Dunia Baru yang lebih menjamin kebebasan, kemanusiaan dan kesejahteraan, kenyataannya justeru dihadapkan pada situasi yang makin tidak menentu. AS yang selalu menepuk dada sebagai pelaku perdagangan bebas dan fair, kadang bersikap kontroversial. Ini terbukti dari adanya pembentukan trade block, seperti NAFTA bersama Kanada dan Meksiko, AFTA dan lain-lain, dan adanya berbagai ketentuan yang sifatnya protek­sionistis. Selain itu AS yang selama Perang Dingin selalu mengu­man­dangkan semboyan demokrasi dan kebebasan bagi bangsa-bangsa untuk nasib mereka sendiri, di sisi lain justeru sering memaksa­kan kehendak dan mengetrapkan standar ganda. Ini terlihat dari perlakuannya terhadap Eropa Barat, Israel, Jepang, negara-negara Dunia Ketiga dan negara-negara eks Komunis.
Pertanyaannya ialah apakah “pembaharuan” model AS itu benar-benar memenuhi kebutuhan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat dunia ? Masalahnya setiap bangsa memiliki latar belakang sejarah dan budayanya sendiri. Padahal pembaharuan tanpa konsep yang jelas yang didasarkan pada kondisi dan situasi kultural, sosial dan politik serta sejarah bangsa yang bersangkutan justeru akan membuka peluang munculnya disintegrasi nasional. Pergolakan berdarah yang berlarut-larut di sejumlah negara Afrika, disintegrasi yang melanda Uni Sovyet dan Yugoslavia menjadi contoh yang baik dalam kasus ini.
Permasalahan lain, perkembangan globalisasi juga ditandai dengan kuatnya pengaruh lembaga-lembaga kemasyarakatan internasional dan campur tangan negara-negara maju dalam per­caturan politik, ekonomi, sosial-budaya dan militer global. Pada gilirannya hal itu tentu akan menimbulkan berbagai konflik kepentingan, baik antara sesama negara maju, negara maju dengan negara berkembang, sesama negara berkembang maupun antar lembaga-lembaga internasional. Lebih buruk lagi, isu globalisasi, yakni HAM, demokrasi, liberalisasi dan lingkungan hidup, juga sering digunakan oleh negara-negara maju untuk menyudutkan dan men­diskreditkan bangsa dan negara lain, khususnya negara-negara berkembang.
Ancaman lebih besar ialah bahwa globalisasi juga menciptakan struktur baru, yaitu struktur global, yaitu itu mem­pengaruhi struktur kehidupan, pola pikir, sikap dan tindakan masyarakat. Dengan kata lain globalisasi akan mempengaruhi kondisi mental spiritual bangsa. Walaupun sementara orang menganggap bahwa globalisasi adalah konsep “semu” sekedar pengisi kevakuman dunia pasca Perang Dingin (Cold War), akan tetapi kehadirannya menjadi sesuatu yang tak terelakkan.
Untuk Indonesia, saat ini negara dan bangsa dihadapkan pada tiga permasalahan pokok, yaitu pertama, tantangan dan pusaran arus global­isasi; kedua, masalah internal, seperti KKN, “destabil­isasi”, separatisme, teror dan sebagainya, dan ketiga, bagaimana menjaga agar “roh” reformasi tetap berjalan pada relnya. Atas dasar itu maka perlu ada langkah-langkah strategis, yaitu : pertama, reformasi sistem yang menyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar dan perangkat legal sistem politik; kedua, reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan pemberdayaan lembaga-lembaga politik, dan ketiga, pengembangan kultur atau budaya politik yang lebih demokratis dan tertanamnya komitmen untuk lebih baik.
Apabila yang pertama dan kedua lebih didominasi oleh eksekutif dan legislatif, yang ketiga harus dilakukan oleh seluruh segmen masyarakat mulai dari rakyat awam hingga elit politik. Pemberdayaan ini mesti dilakukan secara massal, berkesi­nambungan dan dalam bingkai paradigma yang jelas. Adapun media yang dianggap kondusif untuk mencapai sasaran itu salah satunya ialah melalui pembelajaran civic education (pendidikan kewarga­negaraan). Di tingkat perguruan tinggi, nilai strategis dari pembe­lajaran ini ialah meningkatnya kesadaran komprehensif mahasiswa terhadap masalah bangsa. Pada gilirannya hal itu akan berujung pada keterlibatan (partisipasi efektif) dan tumbuhnya kesadaran akan tanggung jawab untuk memperbaiki kualitas kehidupan sosial dan politik secara keseluruhan.

2. Pendidikan Kewargaan : Belajar dari Banyak Negara
Setiap warganegara hakekatnya dituntut untuk dapat hidup berguna dan bermakna bagi negara dan bangsanya. Untuk itu diperlukan bekal ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) yang ber­landaskan pada nilai-nilai agama, moral dan budaya bangsa. Fungsinya adalah sebagai panduan dan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam konteks Pendidikan Kewarganegaraan nilai budaya bangsa menjadi pijakan utama, karena tujuan pembelajaran ialah untuk menumbuhkan wawasan dan kesadaran bernegara, juga sikap dan perilaku cinta tanah air yang bersendikan budaya bangsa.
Pendidikan Kewargaan (civic education) sesungguhnya bukanlah agenda baru di muka bumi. Hanya saja, proses globalisasi yang melanda dunia pada dekade akhir abad 20 telah mendorong munculnya pemikiran baru tentang pendidikan kewarganegaraan di berbagai negara. Di Eropa, Dewan Eropa telah memprakarsai proyek demokratisasi untuk menopang pengem­bangan kurikulum pendidikan kewarganegaraan. Hal yang sama juga terjadi di Australia, Canada, Jepang dan negara Asia lainnya.
Di Amerika Serikat pendidikan kewarganegaraan diatur dalam kurikulum sosial selama satu tahun, yang pelaksanaannya diserahkan kepada negara-negara bagian. Materi yang diajarkan diarahkan pada : 1). Bagaimana menjadi warga yang produktif dan sadar akan haknya sebagai warga Amerika dan warga dunia; 2). Nilai-nilai dan prinsip demokrasi konstitusional; dan 3). Kemampuan mengambil keputusan selaku warga masyarakat demokratis dan multikultural di tengah dunia yang saling tergantung. Di Australia, pendidikan kewarganegaraan ditekankan pada discovering democracy, yaitu: 1). Prinsip, proses dan nilai demo­krasi; 2). Proses pemerintahan; dan 3). Keahlian dan nilai partisipasi aktif di masyarakat.
Di Negara-negara Asia, Jepang misalnya, materi pendidikan kewarganegaraan ditekankan pada Japanese history, ethics dan philosophy. Di Filipina materi difokuskan pada : Philipino, family planning, taxation and landreform, Philiphine New Constitution dan study of humanity (Kaelan, 2003:2). Hongkong menekankan pada nilai-nilai Cina, keluarga, harmoni sosial, tanggung jawab moral, mesin politik Cina dan lain-lain. Taiwan menitikberatkan pada pengetahuan kewarga­negaraan (disusun berdasar­kan psikologi, ilmu sosial, ekonomi, sosiologi, hukum dan budaya); perilaku moral (kohesi sosial, identitas nasional dan demokrasi); dan menghargai budaya lain. Thailand, berusaha :
1). Menyiapkan pemuda menjadi warga bangsa dan warga dunia yang baik; 2). Menghormati orang lain dan ajaran Budha; dan 3). Menanamkan nilai-nilai demokrasi dengan raja sebagai kepala negara. Beberapa negara yang lain juga mengembangkan studi sejenis, yang dikenal dengan nama Civic Education.
Dari sini terlihat bahwa secara umum pendidikan kewarganegaraan di negara-negara Asia lebih menekankan pada aspek moral (karakter individu), kepentingan komunal, identitas nasional dan perspektif inter­nasional, sedangkan Amerika dan Australia lebih difokuskan pada pentingnya hak dan tanggungjawab individu, sistim dan proses demokrasi, HAM dan ekonomi pasar (Sobirin, 2003:11-12).
B. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DI INDONESIA
1. Pengantar Kewarganegaraan
UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional Pasal 39 Ayat (2) menyatakan bahwa setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan di Indonesia wajib memuat Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan. Selanjutnya dalam Keputusan Mendikbud No. 056/U/1994 tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilaian Belajar Mahasiswa, ketiganya dimasukkan dalam kelompok Mata Kuliah Umum (MKU) dan wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi.
Di tingkat Pendidikan Dasar hingga Menengah substansi pendidikan kewarganegaraan digabungkan dengan pendidikan Pancasila sehingga menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarga­negaraan (PPKN). Untuk tingkat Perguruan Tinggi, di masa Orde Baru substansi pendidikan kewarganegaraan diberikan melalui mata kuliah Kewiraan yang lebih menekankan pada PPBN (Pendidikan Pendahuluan Bela Negara).
Dengan keluarnya Kepu­tusan Dirjen Dikti No. 267/DIKTI/2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum, sebutan MKU diganti dengan MKPK (Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian) dan substansi mata kuliah Ke­wira­an direvisi dan selanjutnya namanya diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan. Substansi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin disempurnakan dengan keluarnya Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.

2. Materi Pokok
Seperti diketahui, materi pokok kuliah Kewiraan ialah Wawasan Nusantara, Ketahanan Nasional, Politik dan Strategi Nasional (Polstranas), Politik dan Strategi Pertahanan dan Keamanan Nasional (Polstrahan­kamnas) dan Sistim Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata), yang lebih dititik beratkan pada PPBN. Setelah menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, materi kajian beberapa kali mengalami perubahan. Berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 obyek pembahasan­ Pendidikan kewarganegaraan ialah :
a. Filsafat Pencasila
b. Identitas Nasional
c. Negara dan Konstitusi
d. Demokrasi Indonesia
e. HAM dan Rule of Law
f. Hak dan Kewajiban Warga Negara
g. Geopolitik Indonesia
h. Geostrategi Indonesia

3. Landasan Hukum
a. UUD 1945
- Pembukaan Alinea Kedua dan Keempat yang memuat cita-cita dan aspirasi bangsa Indonesia tentang kemerdekaan.
- Pasal 27 (1) tentang Kesamaan Kedudukan dalam Hukum
- Pasal 30 (1) tentang Bela Negara
- Pasal 31 (1) tentang Hak Mendapat Pengajaran
b. Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
c..Undang-Undang No. 20/Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Jo. No. 1 Tahun 1988)
d. Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistim Pendidikan Nasional.
e. Keputusan DIRJEN Pendidikan Tinggi No. 267/DIKTI/KEP/2000 tentang
Penyempurnaan Kurikulum Inti Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MKPK)
Pendidikan Kewarga­negaraan pada Perguruan Tinggi di Indonesia.
f. Keputusan Dirjen Dikti No. 38/Dikti/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi
g. Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan
Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi

4. Tujuan
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan mencakup dua hal, yaitu:
a. Tujuan Umum
Untuk memberi bekal pengetahuan dan kemampuan dasar kepada mahasiswa
mengenai hubungan antara warganegara dengan negara dan PPBN, agar menjadi
warganegara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.


b. Tujuan Khusus
1). Agar mahasiswa dapat memahami dan melaksanakan hak dan kewajiban secara santun, jujur dan demokratis serta ikhlas sebagai warganegara RI terdidik dan bertanggungjawab.
2). Agar mahasiswa menguasai dan memahami berbagai masalah dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara serta dapat mengatasinya dengan pemikiran kritis dan bertanggung­jawab berlandaskan Pancasila, konsepsi Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.
3). Agar mahasiswa memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai kejuangan, cinta tanah air serta rela ber­korban bagi nusa, bangsa dan negara.

5. Kompetensi yang Diharapkan
Bagi bangsa Indonesia, Pendidikan Kewarganegaraan sudah demikian mendesak untuk dilakukan, mengingat dalam masa transisi menuju demokrasi saat ini di masyarakat banyak ditemukan berbagai patologi sosial yang seringkali kontra produktif dengan upaya penegakan demokrasi itu sendiri. Beberapa patologi sosial itu antara lain:
a. Hancurnya nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat.
b. Memudarnya kehidupan kewargaan dan nilai-nilai komunitas.
c. Kemerosotan nilai-nilai toleransi dalam masyarakat.
d. Memudarnya nilai-nilai kejujuran, kesopanan dan rasa tolong-menolong
e. Melemahnya nilai-nilai dalam keluarga.
f. Praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam penyeleng­garaan pemerintahan.
g. Kerusakan sistim dan kehidupan ekonomi.
h. Pelanggaran terhadap nilai-nilai kebangsaan
Adapun kompetensi yang diharapkan dari mata kuliah Pen­didikan Kewarganegaraan antara lain :
a. Agar mahasiswa mampu menjadi warganegara yang memiliki pilihan pandangan dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM.
b. Agar mahasiswa mampu berpartisipasi dalam upaya men­cegah dan menghentikan berbagai tindak kekerasan dengan cara cerdas dan damai.
c. Agar mahasiswa memiliki kepedulian dan mampu ber­partisipasi dalam upaya menyelesaikan konflik di masyarakat dengan dilandasi nilai-nilai moral, agama dan nilai universal.
d. Agar mahasiswa mampu berpikir kritis dan obyektif terhadap persoalan kenegaraan, HAM dan demokrasi.
e. Agar mahasiswa mampu memberikan kontribusi dan solusi terhadap berbagai persoalan kebijakan publik.
f. Agar mahasiswa mampu meletakkan nilai-nilai dasar secara bijak (berkeadaban)
(Sobirin Malian, 2003).











Catatan:

1)Perang Dingin berawal dari kemenangan posisi tawar Uni Sovyet dalam Yalta Agreement bulan Februari 1945, disusul blokade atas Berlin (Jack Plano, 1969:54) dan pengkomunisan sejumlah negara Asia, sehingga hubungan kedua blok menjadi tegang. Kekuatiran terhadap berlakunya “teori domino” menyebabkan AS mengetrapkan politik membendung komunis, yang terbagi dalam empat bagian, yaitu : 1). Pembangunan ekonomi lewat paket bantuan Marshall Plan dan lain-lain; 2). Regulasi keamanan untuk membendung aksi subversi, spionase dan infiltrasi komunis melalui promosi free world; 3). Aksi militer dalam bentuk pakta militer, seperti NATO (1949), SEATO (1954), Anzus Pact, CENTO (1959) dan juga intervensi militer AS di Kuba, Dominika, Korea, Vietnam, Kamboja dan lain-lain; dan 4). Perang ideologi. Di lain pihak Uni Sovyet juga mengimbanginya dengan cara yang sama, antara lain dengan membentuk Pakta Warsawa, Pakta Bagdad dan lain-lain. Akibatnya suhu politik dunia terus menerus memanas (Brzensinski, 1964:4-5).

2.Bela Negara Dalam Bahasa Budaya Salah Satu Wadah Wawasan Kebangsaan

Dalam kontek Indonesia pada tahun-tahun terakhir ini telah terjadi berbagai peristiwa politik dan kebudayaan yang pengaruhnya cukup signifikan dalam wawasan kebangsaan. Konsep wawasan kebangsaan telah mengalami banyak perubahan, lebih dari itu berbagai perkembangan dalam bidang sains, demografi dan peradaban telah mengantarkan lahirnya masyarakat global yang ditandai oleh pluralisme budaya serta menguatkan hubungan interdepensi dalam berbagai aspek kehidupan.

Memasuki abad-21 kita akan mengalami kehidupan yang cukup perbedaannya dari masa sebelumnya. Karena kita akan menghadapi sekurang-kurangnya tiga tantangan utama (Sayidiman Suryohadiprojo dalam Simposium Futourologi) yakni :

1. Keharusan Indonesia untuk mampu mengikuti dinamika dan kemajuan bangsa lain di wilayah Asia Pasifik, pada hal bangsa-bangsa ini sedang dalam perkembangan yang amat dinamis.

2. Kemampuan untuk mengambil manfaat sebaik-baiknya dari potensi kekayaan alam yang terdapat di wilayah nasional bagi kepentingan rakyat Indonesia umumnya.

3. Pertambahan penduduk yang terus berjalan dengan cukup deras, salah satu akibat dari pertambahan penduduk itu adalah peningkatan angkatan kerja yang besar.

Ketiga tantangan tersebut ada hubungannya satu sama lain dan saling mempengaruhi. Ketidak mampuan Indonesia untuk mengikuti dinamika dan kemajuan bangsa lain akan berpengaruh amat besar kepada kondisi dalam negerinya dan hubungannya dengan bangsa lain yang lebih mampu dan dinamis akan mengambil manfaatnya. Akibatnya bahwa kita harus hidup dalam alam yang rusak bahkan akan mengalami sejarah penjajahan kembali, sekalipun dalam bentuk lain.

Ketidakmampuan untuk mengimbangi peningkatan angkatan kerja dengan penciptaan kesempatan kerja, kita dihadapkan pada pengangguran yang tidak kecil. Gejolak sosial ini akan mempengaruhi keadaan politik dan keamanan.

Kesadaran

Kesadaran berbangsa dan bernegara sesuai dengan perkembangan bangsa mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak akan selalu positif. Bisa saja pada suatu masa kesadaran tersebut tidak seutuh dengan masa sebelumnya.

Bermacam-macam hal yang dapat berpengaruh terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara. Berbagai faktor dalam negeri seperti dinamika kehidupan warga negara, telah ikut memberi warna terhadap kesadaran berbangsa dan bernegara tersebut. Demikian pula perkembangan dan dinamika kehidupan bangsa-bangsa lain di berbagai belahan dunia, tentu berpengaruh pula terhadap kesadaran itu. Salah satu faktor yang amat berpengaruh adalah perkembangan dan temuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Faktor tersebut membuat dunia semakin “telanjang” dalam arti semakin terbuka dan terlihat oleh semua bangsa-bangsa di dunia. Hal ini selanjutnya menimbulkan suasana saling mempengaruhi juga menyentuh kesadaran berbangsa dan bernegara.

Semangat hidup membangsa

Sebagai bangsa yang relatif muda yang harus berjuang dengan berbagai masalah kebutuhan primer ekonomi, sosial budaya dan politik yang mengancam eksistensi bangsa Indonesia.

Ideologi kebangsaan dan cita-cita untuk merdeka dari cengkeraman imperialis yang pernah menyatukan dan menggerakkan seluruh rakyat Indonesia sekarang memerlukan redefinisi dan reartikulasi karena secara politis kita telah merdeka. Namun wawasan kebangsaan (Nation hood) dan kemanusiaan tergeser oleh agenda kepentingan ideologi kelompok.

Semangat persatuan dan kesatuan yang dijiwai oleh Pancasila adalah nilai Normatif yang telah diperjuangkan melalui Nation and character building oleh pendiri bangsa. Proses itu harus kita lanjutkan dan kembangkan serta tidak boleh terhenti sejak kita memutuskan membangun negara kesatuan Republik Indonesia merdeka dengan tonggak-tonggak sejarah Boedi Utomo (1908), Sumpah Pemuda (1928), dan Proklamasi Kemerdekaan RI (17 Agustus 1945).

Bahwa dengan perubahan tata nilai dalam masyarakat akibat dari proses perubahan yang tidak pernah terhenti baik secara struktural sosial maupun kultural, maka nilai-nilai kebangsaan yang telah menjadi kesepakatan nasional dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. 17 Agustus 1945 kiranya masih sangat relevan dalam upaya mempertahankan keutuhan bangsa dari ancaman disitegrasi yang mengancam persatuan bangsa.

Bung Karno pernah mengajukan plaform pertama dan utama yaitu :

(1) Tekad untuk hidup bersama
(2) Membentuk satu bangsa berdasarkan kesamaan ciri oleh sebab bersamaan nasib
(3) Secara geopolitik tanah air Indonesia adalah suatu negara bangsa (nation state).

Untuk itu kiranya sangat perlu dan mendesak guna mencegah kerawanan ini, maka sangat perlu diteruskan pola pembinaan kesatuan bangsa melalui kesadaran bela negara. Alex Suseno, mengungkapkan bahwa komitmen hidup membangsa merupakan sinyalemen yang harus dijawab dengan adanya terobosan budaya. Suatu terobosan dengan paradigma sosial baru yang menggunakan bela negara dalam bahasa budaya. Agar generasi Panca 45 dapat tampil dengan suatu prakarsa yang unik tapi orisional, unik karena memberi jalan keluar, orisional karena berakar pada budaya sendiri.

Secara konstitusional Pasal 27 (3) dalam amandemen kedua menyebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara” dan Pasal 32 (1) amandemen keempat menyebutkan “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”.

Kedua Pasal di atas disinergikan sebagai interpretasi kritis, sehingga muncul statemen “Kebudayaan nasional Indonesia yang berintikan kesadaran hak bela negara” yang disingkat dengan Budaya Hak Bela Negara (BBNI).

Budaya bela negara

Masih ada persepsi bahwa bela negara adalah tugas TNI dan POLRI, sedangkan pengertian bela negara merupakan tekad, sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh rasa kecintaan kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD ’45 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara. Dengan demikian perlu upaya sosialisasi kepada masyarakat luas.

Bela negara merupakan kegiatan yang dilahirkan oleh setiap warga negara sebagai penunaian hak dan kewajiban dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara. Mengutip Muhammad Azhar, bahwa bela negara seperti membela tanah air (bersifat geografis), mencintai tanah air (bersifat psikologis), stabilitas negara (bersifat security) dan loyalitas terhadap bangsa dan negara (bersifat dedikatif).

Pembudayaan bela negara dangan memberikan pengertian, pemahaman mengenai bela negara agar menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Bela Negara diperdayakan sebagai pemberian kekuatan dan daya kemampuan kepada masyarakat untuk dapat melaksanakan bela negara. Masyarakat yang mempunyai kemampuan bela negara adalah memiliki kemampuan kesadaran melaksanakan hak dan kewajiban dalam berbagai kegiatan sebagai makhluk sosial dan sebagai warga negara. Pemberdayaan ini tentu saja diimbangi dengan keteladanan sikap moral dan rasa kebanggaan nasional.

Gandi misalnya, menjadi seorang besar oleh karena ia mempunyai kepercayaan yang kuat tentang arti hidup bangsanya, sehingga menciptakan pikiran, perbuatan dan cita-cita untuk perjuangan bagi bangsanya.

Agenda budaya bela negara sesungguhnya merupakan agenda seluruh bangsa. Penanaman semangat bela negara merupakan suatu proses perubahan perilaku sesuai dengan pranata sosial maka perlu dilakukan pembinaan yang berkesinambungan. Dalam proses budaya bela negara hendaknya memperhatikan generasi muda sehingga proses pembudayaan tumbuh dengan baik, karena kaum muda merupakan pelaku budaya pada masa mendatang.

Peradaban

Telah kita sepakati bahwa budaya adalah hasil budidaya manusia yang dikaruniai Tuhan dengan kemampuan cipta rasa dan karsa. Berbicara tentang budaya (kebudayaan) tidak dapat lepas dari peradaban. Peradaban atau “Civilization” yang diartikan sebagai pertumbuhan manusia dalam penguasaan pengetahuan dan kecakapan yang mendorongnya untuk mencapai perilaku yang lebih luhur.

Budaya nasionalisme merupakan produk peradaban umat manusia. Kehidupan yang beradab adalah kehidupan yang hanya terdapat di dalam kehidupan manusia yang tidak terjadi dengan sendirinya. Peradaban harus didesain dengan kesadaran, kesengajaan, kebersamaan dan komitmen yang didasarkan atas nilai-nilai luhur.

Bahwa Indonesia sebenarnya memiliki semua syarat dan sifat untuk tidak bersatu. Namun demikian kesatuan dapat diwujudkan. Hal itu karena sebuah keberhasilan perjuangan. Selama lebih dari setengah abad sejak kemerdekaan, yang kita kenal hanya satu bangsa, satu idiologi. Sejak itulah manusia Indonesia dapat hidup lebih tinggi sebagai sebuah kesatuan bangsa, terlihat oleh peradaban yang dilandasi dengan nilai-nilai sepiritual, moral dan idiologis.

Wawasan kebangsaan

Bagaimanakah mengenai konsep wawasan kebangsaan serta langkah apa yang harus kita lakukan? Francis Fukuyama (pada Komaruddin Hidayat dalam Seminar Reorientasi Wawasan Kebangsaan di era demokrasi, 2001) menyebutkan bahwa kita perlu membangun dan memelihara apa yang disebut dengan “social capital” yang positif untuk pengembangan bangsa ini. Social Capital yang dimaksud adalah nilai-nilai tradisi dan cita-cita social yang telah tumbuh yang kita sepakati sangat positif nilainya untuk masa depan bangsa dan asset pengembangan peradaban sebuah bangsa.

Mengingat wawasan kebangsaan bermuatan nilai-nilai dan cara pandang terhadap dunia sekelilingnya, sesungguhnya kita telah memiliki “social capital” yang amat berharga yang terdapat pada budaya dan agama.

Guna mendukung pengembangan budaya dan agama tadi seyogyanya diberi format atau bingkai institusi yang mendukungnya dalam kontek kemoderenan. Sehingga khasanah ajaran etika dan agama dari berbagai daerah yang begitu mulia memperoleh wadah dan pengembangan dalam sebuah sistim politik yang demokratis dan accountable.

Dengan demikian, apa yang pernah dikemukakan oleh Alex Suseno bahwa budaya bela negara muaranya nanti pada kualitas manusia Indonesia yang patriotik religius dan religius patriotik.

1.Tujuan Pendidikan Nasional

Pada artikel lain telah disebutkan beberapa tujuan pendidikan yang pernah muncul dalam Sejarah. Plato sangat menekankan pendidikan untuk mewujudkan negara idealnya. Ia mengatakan bahwa tugas pendidikan adalah membebaskan dan memperbaharui; lepas dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakbenaran. Aristoteles mempunyai tujuan pendidikan yang mirip dengan Plato, tetapi ia mengaitkannya dengan tujuan negara. Ia mengatakan bahwa tujuan pendidikan haruslah sama dengan tujuan akhir dari pembentukan negara yang harus sama pula dengan sasaran utama pembuatan dan penyusunan hukum serta harus pula sama dengan tujuan utama konstitusi, yaitu kehidupan yang baik dan yang berbahagia (eudaimonia). Tujuan universitas di Eropah adalah mencari kebenaran. Pada era Restorasi Meiji di Jepang, tujuan pendidikan dibuat sinkron dengan tujuan negara; pendidikan dirancang adalah untuk kepentingan negara.
Bagaimana tujuan pendidikan nasional dengan di republik ini? UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."

Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang No. 20, Tahun 2003. Pasal 3 menyebutkan, "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."

Bila dibandingkan dengan undang-undang pendidikan sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 2/1989, ada kemiripan kecuali berbeda dalam pengungkapan. Pada pasal 4 ditulis, "Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi-pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung-jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." Pada Pasal 15, Undang-undang yang sama, tertulis, "Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi."

Bila dipelajari, di atas kertas tujuan pendidikan nasional masih sesuai dengan substansi Pancasila, yaitu menjadikan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Namun, apakah tujuan pendidikan ini dijabarkan secara konsisten di dalam kurikulum pendidikan dan juga dalam sistem pembelajaran? Jawabannya masih diragukan.

1.hak dah kewajiban warga negara tertuang dalam pasal 30 UUD-1945

A.Tulis makalah yang menjelasakan makna apa yang terkandung didalamnya pasal 30 UUD-1945 bagi satiah warga negara
jawah:

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG

Setiap individu yang bernyawa, khususnya manusia baik secara pribadi maupun di dalam kehidupan bermasyarakat pasti memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Tanpa adanya kedua hal tersebut kehidupan tidak akan berjalan dengan baik. Namun terkadang antara hak dan kewajiban tak ayal sering menjadi pemicu adanya pertengkaran, untuk itu dibuatlah wadah yang ditunjukkan untuk meminimalisirkan pertengkaran yang ada yang kini sering di sebut sebagai hukum. Adanya hukum tidak ada begitu saja didalamnya juga banyak terdapat pengikat-pengikat yang lebih memusatkan subyeknya terhadap berbagai aspek kehidupan.

Adanya hukum tidak terlepas dengan keberadaan pancasila khususnya di Negara Indonesia, di dalamnya terdapat banyak peraturan-peraturan yang ditunjukkan untuk memberikan pedoman bagi kehidupan manusia, peraturan-peraturan tersebut biasa dituangkan ke dalam Undang-undang, Pasal-pasal dan lain sebagainya.

Hal yang berkaitan dengan masalah hak dan kewajiban serta disintergrasi atau perpecahan diatur pleh hukum dalam pasal 30 dan 26 UUD 1945, dan untuk lebih dapat mengupas makna apa yang terkandung di dalam pasal tersebut serta sedikit penjabarannya makalah ini saya sampaikan agar mereka yang membacanya dapat sedikit menambah pengetahuannya.

I.2 TUJUAN

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk sedikit memberikan penjabaran mengenai pasal 30 dan 26 UUD 1945 serta isu-isu perpecahan antara penduduk pribumi dengan penduduk non pribumi dari sudut pandang penulis dan beberapa nara sumber.

BAB II

PEMBAHASAN

II.1 ISI

1.HAK DAN KEWAJIBAN DALAM PASAL 30 UUD 1945

Hak dan kewajiban, kedua kata tersebut sudah sangat sering di dengar oleh seluruh manusia, di setiap gerak-gerik kehidupan hak dan kewajiban selalu dituntut untuk dipenuhi, di dalam hukum hak dan kewajiban diatur dalam pasal 30 UUD 1945. Namun sebelum membahas lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban berdasarkan pasal tersebut saya akan menjabarkan pengertian hak dan kewajiban secara umum.

Hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri.
Contoh : hak mendapatkan pengajaran, hak mendapatkan nilai dari dosen dan sebagainya.

Kewajiban : Sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab.
Contoh : melaksanakan tata tertib di kampus, melaksanakan tugas yang diberikan dosen dengan sebaik baiknya dan sebagainya.

Ke dua hal tersebut sangat berkaitan erat seseorang yang melakukan kewajibannya dengan baik pasti menuntut hak yang baik pula, begitu pula sebaliknya kedua hal tersebut sama hal nya seperti sisi mata uang logam yang selalu terkait dan tak terpisahkan.

Sedang pengertian hak dan kewajiban di dalam pasal 30 UUD 1945 disebutkan bahwa tiap – tiap warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan Negara. Usaha untuk mempertahankan keamanan Negara tersebut dilaksanakan melalui system pertahanan dan keamanan rakyat yang dilakukan oleh TNI (Tenaga Nasional Indonesia) dan pihak Kepolisian yang berperan sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung,

jadi di dalam pasal ini untuk mempertahankan keamanan Negara tidaklah hanya di bebankan kepada para aparat penegak hukum tetapi masyarakatpun harus ikut terlibat di dalamnya, karena tanpa ada nya timbal balik untuk saling menjaga Negara Indonesia ini tidaklah akan aman begitu saja.

Di dalam setiap pasal terdapat beberapa penjabaran yang sering dituangkan ke dalam ayat-ayat pasal, untuk pasal 30 UUD 1945 ini terdapat 5 ayat penjabaran diantaranya :

Ayat (1) menyebutkan tentang hak dan kewajiban tiap warga negara ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Seperti yang telah saya jabarkan sebelumnya bahwa seluruh masyarakat baik dari kalangan penegak hukum maupun rakyat biasa tanpa terkecuali mereka memiliki hak serta kewajiban untuk membela dan mempertahankan keamanan Negara, meskipun cara yang mereka pakai berbeda-beda, seperti halnya pada kasus Malaysia dengan Indonesia yang sering terjadi akhir-akhir ini, pembajakan kebudayaan serta masalah persengketaan tanah dan masih banyak lagi, dengan munculnya masalah-masalah tersebut disinilah hak dan kewajiban masing-masing individu dituntut. Untuk aparat penegak hukum dengan adanya hal tesebut mungkin mereka menunjukkan kewajibannya dengan lebih memperketat keamanan dan mengesahkan apa yang menjadi milik bangsanya agar tidak dibajak lagi, namun berbeda dengan rakyat biasa yangmungkin hanya bisa menggunakan hak dan kewajibannya mempertahankan keamanan Negara nya dengan cara berdemo kepada pemerintah.

Ayat (2) menyebutkan usaha pertahanan dan keamanan rakyat. Untuk menyebutkan usaha-usaha yang dilakukan masyarakat untuk pertahanan dan keamanan rakyat sangatlah banyak namun jika diberi contoh seperti halnya masalah Malaysia dengan Indonesia dimana rakyat Malaysia memasuki kawasan laut territorial Indonesia tanpa izin, untuk mempertahankan kawasan laut tersebut rakyat Indonesia harus mengorbankan beberapa aparat penegak hukum kawasan laut tersebut untuk di evakuasi ke Malaysia hanya demi mempertahankan apa yang menjadi hak bangsa Indonesia.

Ayat (3) menyebutkan tugas TNI sebagai “mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”. TNI terdiri dari tiga angkatan bersenjata, yaitu TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, dan TNI Angkatan Udara.

Diantara tugas-tugas TNI secara umum adalah :

v mengatasi pemberontakan bersenjata

v mengatasi aksi terorisme

v mengamankan wilayah perbatasan

v mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis

v melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri

v mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya

v memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta

v membantu tugas pemerintahan di daerah

Ayat (4) menyebut tugas Polri sebagai “melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, dan menegakkan hukum”.

Ayat (5) menggariskan, susunan dan kedudukan, hubungan kewenangan TNI dan Polri dalam menjalankan tugas, serta hal-hal lain yang terkait dengan pertahanan dan keamanan.

Dari pembacaan Pasal 30 secara utuh dapat disimpulkan, meski TNI dan Polri berbeda dalam struktur organisasi, namun dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing keduanya bekerja sama dan saling mendukung dalam suatu “sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta”. Pengaturan tentang sinkronisasi tugas pertahanan negara (hanneg) dan keamanan negara (kamneg) itulah yang seyogianya ditata ulang melalui undang-undang yang membangun adanya “ke-sistem-an” yang baik dan benar.

Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 30 tertulis bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.” dan ” Syarat-syarat tentang pembelaan diatur dengan undang-undang.” Jadi sudah pasti mau tidak mau kita wajib ikut serta dalam membela negara dari segala macam ancaman, gangguan, tantangan dan hambatan baik yang datang dari luar maupun dari dalam. Beberapa dasar hukum dan peraturan tentang Wajib Bela Negara :
1. Tap MPR No.VI Tahun 1973 tentang konsep Wawasan Nusantara dan Keamanan Nasional.
2. Undang-Undang No.29 tahun 1954 tentang Pokok-Pokok Perlawanan Rakyat.
3. Undang-Undang No.20 tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Hankam Negara RI.

Dengan hak dan kewajiban yang sama setiap orang Indonesia tanpa harus dikomando dapat berperan aktif dalam melaksanakan bela negara. Membela negara tidak harus dalam wujud perang tetapi bisa diwujudkan dengan cara lain seperti :
1. Ikut serta dalam mengamankan lingkungan sekitar (seperti siskamling)
2. Ikut serta membantu korban bencana di dalam negeri
3. Belajar dengan tekun pelajaran atau mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan atau PKn
4. Mengikuti kegiatan ekstraklurikuler seperti Paskibra, PMR dan Pramuka.
Sebagai warga negara yang baik sudah sepantasnya kita turut serta dalam bela negara dengan mewaspadai dan mengatasi berbagai macam ATHG / ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan pada NKRI / Negara Kesatuan Republik Indonesia seperti para pahlawan yang rela berkorban demi kedaulatan dan kesatuan NKRI.
Beberapa jenis / macam ancaman dan gangguan pertahanan dan keamanan negara
1. Terorisme Internasional dan Nasional.
2. Aksi kekerasan yang berbau SARA.
3. Pelanggaran wilayah negara baik di darat, laut, udara dan luar angkasa.
4. Gerakan separatis pemisahan diri membuat negara baru.
5. Kejahatan dan gangguan lintas negara.
6. Pengrusakan lingkungan.

Namun pasal yang menyinggung masalah hak dan kewajiban tidaklah hanya pasal 30 saja tetapi juga terdapat pasal 27 berikut bunyi dari masing-masing pasal tersebut :

Pasal 27
Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara.
Pasal 30
Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha
pertahanan dan keamanan negara

Penjelasan :
Pasal 27 mengupas tentang hak pribadi warga negara, termasuk di dalamnya menjaga nama baik negara kita di luar di kancah internasional, misalnya masalah beberapa klaim dari Malaysia kita punya hak untuk ikut membela., tapi
Pasal 30 membahas tentang pertahanan negara, artinya berhubungan dengan invasi dari negara lain.

Itulah sedikit hal mengenai hak dan kewajiban menurut pasal 30 UUD 1945 yang dapat saya jabarkan bagi setiap warga Negara atau individu.

2.ISU PERPECAHAN MENGENAI PENDUDUK PRIBUMI DENGAN NON PRIBUMI

Perpecahan, mungkin setiap individu pernah merasakan atau mengalami perpecahan. Perpecahan itu sendiri memiliki makna yang kompleks, biasanya perpecahan itu berhubungan dengan adanya keretakan, kerenggangan, ataupun tidak adanya kesatuan di dalam diri manusia maupun di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di dalam tulisan saya kali ini saya akan membahas mengenai perpecahan antara penduduk pribumi dan non pribumi. Namun sebelum saya menjabarkan lebih lanjut mengenai isu yang berkembang mengenai perpecahan antara penduduk pribumi dengan penduduk non pribumi, ada baiknya kita mengetahui pengertian dari pribumi dan non pribumi itu sendiri berdasrkan pasal 26 UUD 1945 :

Penjelasan Pribumi dan Non-Pribumi” berdasarkan UUD 1945 adalah :

A. Pasal 26 Ayat 1 : Orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, peranakan Tionghoa dan peranakan Arab, yang bertempat tinggal di Indonesia mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.

B. Pasal 26 : (1) Yang menjadi warganegara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disyahkan dengan Undang – Undang sebagai Warga Negara.

Maka kesimpulannya dari ke dua penjabaran diatas adalah : Di Indonesia tidak ada istilah Pribumi dan Non Pribumi yang berlaku dalam hubungan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Istilah Pribumi dan Non Pribumi adalah istilah politis yang dipergunakan Pemerintah Kolonial Belanda dan Pemerintah Orde baru dengan maksud untuk memecah belah golongan penduduk di negara Indonesia dan melanggengkan kekuasaanya Kalau istilah Pribumi dan Non Pribumi dipergunakan terus menerus maka akan menimbulkan disintegrasi bangsa Indonesia.

Itulah sedikit penjabaran saya mengenai makna pribumi dengan non pribumi berdasarkan pasal 26 UUD 1945, menururt pendapat saya mengenai isu tentang perpecahan antara penduduk pribumi dengan penduduk non pribumi tidaklah perlu dikemukakan, karna dengan ada nya pengelompokkan tersebut menyebabkan disintegrasi masyarakat semakin bertambah besar dan itu akan berdampak buruk bagi masyarakt, bangsa dan Negara tentunya.

Karena telah dikemukakan juga sebelumnya bahwa istilah tersebut mulai berkembang di zaman orde baru yang memang bertujuan untuk memecah persatuan dan kesatuan masyarakat Indonesia.

Untuk di zaman yang sekarang ini, zaman globalisasi sangat tidak diperlukan mengangkat isu-isu atau hal-hal yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah perpecahan. Seperti yang telah kita ketahui juga bahwa Indonesia merupakan Negara demokrasi yang sangat menjunjung tinggi nilai toleransi baik dalam hal berbangsa, bernegara, maupun dalam hal agama. Di Indonesia masyarakatnyapun beragam mulai dari Tionghoa, Cina, Melayu dan sebagainya semua hidup saling berdampingan dengan damai, mereka semua sudah dapat dikatakan sebagai pribuminya bangsa Indonesia karna telah mendiamin dan bermukim di Indonesia, itu juga merupakan contoh konkrit yang ada di dalam kehidupan sehari-hari, oleh karena itu Negara Indonesia terkenal di mancanega sebagai Negara berpenduduk ramah yang memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang memiliki makna berbeda namun tetap satu jua.

Dengan adanya keberagaman tersebut muncullah istilah-istilah yang disebut dengan WNI dan penduduk, apakah pengertian keduanya?? Di dalam tulisan ini saya juga akan menjabarkan sedikit menganai apa yang dimaksud dengan WNI dan penduduk itu sendiri.

WNI atau yang sering disebut sebagai Warga Negara Indonesia mempunyai pengertian :

Orang yang diakui oleh UU sebagai warga negara Republik Indonesia. Kepada orang ini akan diberikan Kartu Tanda Penduduk, berdasarkan Kabupaten atau (khusus DKI Jakarta) Provinsi, tempat ia terdaftar sebagai penduduk/warga. Kepada orang ini akan diberikan nomor identitas yang unik (Nomor Induk Kependudukan, NIK) apabila ia telah berusia 17 tahun dan mencatatkan diri di kantor pemerintahan. Paspor diberikan oleh negara kepada warga negaranya sebagai bukti identitas yang bersangkutan dalam tata hukum internasional.

Sedangkan menurut Pasal 4 UU no.12 tahun 2006 yang dimaksud WNI adalah :

1. Setiap orang yang sebelum berlakunya UU tersebut telah menjadi WNI
2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah dan ibu WNI
3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga negara asing (WNA), atau sebaliknya

1. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut;
2. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia;
3. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia;
4. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
5. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
6. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;

10. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya;

11. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;

12. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia

Itulah beberapa pengertian mengenai WNI ( Warga Negara Indonesia), sedang untuk pengertian penduduk adalah :

Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah geografis suatu daerah selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap.

Itulah sedikit pendapat yang dapat saya jabarkan mengenai isu tentang adanya perpecahan antara penduduk pribumi dengan penduduk non pribumi, dan beberapa penjelasan mengenai pengertian penduduk dengan WNI ( Warga Negara Indonesia).

BAB III

PENUTUP

III.1 KESIMPULAN

Makna hak dan kewajiban yang terkandung didalam pasal 30 UUD 1945 adalah setiap warga Indonesia baik yang memiliki jabatan apapun wajib ikut serta dalam membela pertahanan dan keamanan Negara nya, membela Negara tidaklah hanya dapat dilakukan oleh mereka yang bertugas mengatur Negara seperti TNI dan Polri namun rakyat biasa pun juga dapat mempertahankan keamanan Negara nya dengan hal-hal kecil yang dimulai dari kehidupan diri sendiri, kehidupan bertetangga maupun kehidupan berbangsa.

Masalah Isu perpecahan antara penduduk pribumi dan non pribumi tidaklah perlu dikemukakan karna itu hanya akan menambah deretan panjang disintergrasi antar sesama, tanpa adanya penggolongan tersebut masyarak Indonesia mampu untuk hidup berdampingan secara damai meskipun didalam perbedaan.

Pengertian Warga Negara Indonesia adalah setiap orang yang telah diakui oleh Undang-undang sebagai warga negaranya, meskipun seorang anak dilahirkan dari kedua orang tua yang memiliki perbedaan kebudayaan tetaplah diakui sebagai warga Negara Indonesia apabila Undang-undang telah mengakuinya dengan cara memiliki KTP untuk di dalam negri dan Paspor untuk identitas di luar negeri, sedang untuk pengertian penduduk itu sendiri adalah mereka yang telah menetap di Indonesia dalam jangka waktu 6 bulan, mereka itu sudahdapat dikatakan sebagai penduduk Indonesia namun belum dapat dikatakan sebagai warga Negara Indonesia.